Minggu, 01 Januari 2017

Hadiah Perekat Hati

Islam adalah petunjuk hidup yang mengatur segala aspek kehidupan. Baik itu hubungan antara hamba dengan Allah, maupun hubungan antara sesama hamba. Semuanya diatur untuk menimbulkan keharmonisan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. Lebih dari itu segala petunjuk itu jika diniatkan untuk mencari ridha Allah akan bernilai ibadah.

Begitu mulianya apabila umat ini saling bekasih sayang antara sesamanya. Bangunan umat akan semakin kokoh. Untuk itu Islam datang untuk memberikan solusi. Diantara solusi itu adalah anjuran untuk saling memberikan hadiah. Dalam sebuah hadits dari sahabat abu Hurairah bahwa nabi bersabda,

تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya akan saling mencintai.” (HR. Bukhari).

Hadiah adalah sebuah pemberian untuk mendatangkan kecintaan, menumbuhkan kasih sayang, menghilangkan kedengkian dan melembutkan hati.
Hadiah merupakan tanda cinta dan bersihnya hati. Ia juga sebagai tanda simpati kepada orang yang ia cintai. Saling memberi hadiah adalah akhlaq mulia yang dianjurkan dalam Islam. Untuk itu, Nabi Muhammad adalah manusia teladan dalam hal ini. Meskipun seorang Rasul, beliau tidak sungkan dalam menerima hadiah.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah beliau berkata bahwa Rasulullah jika diberi makanan beliau bertanya, ini hadiah ataukah sedekah? jika ini adalah sedekah beliau berkata kepada para sahabatnya, “Makanlah!.” Sedangkan beliau tidak memakannya, namun jika ini adalah hadiah maka Rasulullah akan memakannya bersama-sama dengan mereka. (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, sahabat Abu Huraiah menuturkan bahwa Nabi bersaba,

تَهَادَوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ وَلَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ شِقَّ فِرْسِنِ شَاةٍ
“Hendaknya kalian saling memberikan hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan sifat benci dalam dada, dan janganlah seseorang meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya secuil kaki kambing.” (HR. Tirmidzi).

Memang, hadiah adalah sarana untuk menjernihkan antara dua orang yang sedang kurang harmonis. Tatkala salah satu memberi hadiah kepada yang lain maka masalah bisa terselesaikan. Bahkan jalinan antara keduanya semakin erat setelah sebelumnya kurang harmonis.
Dalam dakwah betapa banyak orang yang semula memusuhi dakwah menjadi lunak bahkan menjadi pendukung dengan akhlaq karimah yang kita berikan kepadanya. Salah satunya dengan hadiah yang kita berikan.
Dalam sebuah riwayat dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda, “Hadirilah orang yang mengundang, janganlah kalian menolak hadiah dan janganlah kalian memerangi kaum muslimin.” (HR. Ahmad).

Dalam menerima hadiyah, Rasululah tidak membedakan-bedakan antara sedikit dan banyak. Beliau tetap menerima hadiah meskipun sedikit.
Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah bersabda,

لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
“Seandainya aku diundang untuk jamuan makan sebesar satu paha depan (kambing) atau satu paha belakangnya, pasti aku penuhi dan seandainya aku diberi hadiah makanan satu paha depan (kambing) atau satu paha belakang pasti aku terima.” (HR. Bukhari).

Seringkali rasa bakhil muncul tatkala ingin memberi hadiah kepada seseorang. Asumsi bahwa dengan memberikan hadiah akan mengurangi jatah rezeki yang sudah menjadi bagiannya. Belum lagi munculnya perasaan jikalau hadiah yang kita berikan belum tentu diterima dan seabrek praduga-praduga yang lainnya. Dengan melatih jiwa untuk memberikan hadiah meskipun sedikit akan menjadi pembiasaan bagi jiwa untuk berderma.
Dalam sebuah hadits Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai wanita-wanita muslim, janganlah seorang budak wanita menganggap remeh memberi hadiah budak wanita lainnya sekalipun hanya sebesar kubangan karena diinjak kambing.” (HR. Bukhari).
Maksud dari hadits ini adalah Nabi mendorong para muslimah untuk memberi hadiah kepada budak-budaknya meskipun dengan sesuatu yang amat remeh. Karena sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali. Ini menunjukkan rasa cinta yang dalam kepada sesama.
Namun jika kita terpaksa menolak sebuah pemberian karena beberapa pertimbangan hal itu tidak mengapa. Asalkan diberikan penjelasan kepada yang memberi dengan penjelasan yang jelas supaya tidak menimbulkan prasangka yang tidak baik. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits, “Dari Abdullah bin Abbas dari Ash-Sha’bi bin Jatsamah Al Laitsiy bahwa dia (Ash-Sha’bi) memberi hadiah kepada Rasulullah berupa seekor keledai yang liar saat beliau berada di Abwa’ atau di Waddan. Lalu Beliau mengembalikan hadiah itu kepadanya. Ketika beliau melihat apa yang ada di wajahnya, Beliau berkata, ‘Kami tidak bermaksud menolak hadiah darimu, namun ini tidak lain karena aku sedang berihram’.” (HR. Bukhari).
Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits di atas terdapat penjelasan untuk tidak menerima hadiah bagi yang tidak pantas untuk menerimanya.” Misalkan kita diberi makanan oleh seseorang sedangkan kita masih mampu, sedangkan tetangga kita dalam kondisi kelaparan. Maka tidak apa-apa kita menolak pemberian tadi kemudian menunjukkan kepada orang yang lebih berhak.
Akhirnya, marilah kita melatih jiwa kita untuk saling memberikan hadiah kepada siapapun dengan mengharap ridha Allah. Harapannya melalui hadiah meskipun remeh akan mempererat jalinan ukhuwah Islamiyah. Memang hadiah adalah perekat hati yang paling indah. Wallahu a’lam.

Mengenal Islam Nusantara dan Islam Arab


Shalat bilingual (dwibahasa), Jilbab versi pakaian adat, shalawat koplo dan musik disko, dan kini tilawah al Quran dengan langgam jawa. Dan katanya, tak salah pula jika tilawah dengan nada lagu daerah bahkan hip hop. Setelah ini akan ada apa lagi? Kain kafan batik?
Islam tak melarang seorang muslim mengekspresikan budaya lokalnya. Memakai batik misalnya, atau belajar seni sastra, tulis dan ornamen etnisnya, bahkan melestarikan tradisi masyarakatnya. Syaratnya hanya satu, tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Jadi, acuan baku seorang muslim adalah Islam. Tentu saja karena Islam adalah manhaj, jalan hidup seorang muslim. Ia boleh memamaki aksesoris apapun; nusantara, melayu atau Arab sekalipun. Tapi semuanya harus dipasang di rel syariat. Jika pas dan sesuai berarti layak jalan, jika tidak harus dibuang dan ditinggalkan.
Islam bukan produk budaya Arab atau adopsi dari sebagian atau seluruh budaya arab. Hanya saja, Islam memang turun di Arab. Bahasa wahyu menggunakan bahasa Arab, tapi isinya murni berasal dari Dzat yang menciptakan Arab, bumi dan dunia seisinya. Demikian pula as sunnah adalah murni ajaran dari Alalh meskipun disampaikan melalui lisan orang Arab. Wahyu berbahasa Arab itu diperuntukkan bagi manusia di seluruh dunia.
Pakaian yang menutupi aurat itu bukan budaya Arab, tapi syariat. Hukum-hukum had juga bukan produk Arab, tapi syariat. Menghindari berbagai hal berbau syirik seperti sesajen, menyembah kuburan, dan percaya pada makhluk-makhluk penunggu itu bukan budaya Arab, tapi murni inti ajaran tauhid.
Budaya Arab sendiri tidak mengenal jilbab penutup aurat. Saat ayat jilbab turun, para shahabiyah segera bergegas mencari kain guna menutupi auratnya yang terbuka. Budaya Arab juga tidak mengenal hukum had, mereka hanya kenal balas dendam antar suku. Menghindari berbagai hal syirik justru sangat bertengangan dengan budaya Arab saat itu yang kental dengan sajen dan persembahan kepada selain Allah.
Jadi aneh rasanya ketika seorang muslim berpikir, Islam selama ini terlalu didonminasi budaya Arab dan harus diakulturasi dengan budaya lokal. Lalu muncullah fenomena aneh seperti di atas; shalat dua bahasa, tilawah langgam jawa dan shalawat koplo.
Islam Nusantara lebih ramah?
Ada asumsi bahwa Islam yang kearab-araban cenderung keras, ekstrim dan tidak lemah lembut. Islam memang bukan agama yang hanya mengajarkan perdamaian mutlak. Dipukul pipi kiri, berikan pipi kanan. Hanya menggunakan nasihat lembut dan anti terhadap segala bentuk kekerasan. Islam mengajarkan agar kita mengedepankan kelemahlembutan tapi juga siap menggunakan ketegasan dan kekerasan, saat diperlukan dan adanya tuntutan.
Perang adalah puncak kekerasan; pembunuhan masal, pengusiran, penguasaan dan pencabutan paksa kekuasaan milik orang lain. Tapi perang merupakan bagian dari Islam. Islam mengajarkan umatnya agar tak segan berperang, yang itu berarti tak segan membunuh dan mengusir musuh. Sirah nabi Muhammad, selama 11 tahun di Madinah penuh dengan catatan asiyar wal magahzi, ekspedisi militr dan perang. Islam juga mengajarkan etika berperang dan tehnik perang dalam ajaran jihadnya. Bahkan Islam mengecam seorang muslim yang ketika kewajiban berperang tiba, ia malah duduk dirumahnya padahal mampu berperang.
Apakah semua ini akan dibuang dan diganti dengan Islam nusantara yang diklaim lebih lembut. Apakah semua ini akan dibuang karena semua ini bukan dari Islam tapi hanya produk budaya dan politik Arab pada saat itu saja? Apakah ayat-ayat jihad, seluruhnya akan diberhentikan maknanya pada jihad melawan nafsu?
Segala bentuk kebijaksanaan dan kelembutan ada dalam Islam dan ajaran Rasulullah. Apa yang masih kurang?
Mana yang budaya Arab mana yang original dari wahyu?
Apa parameter yang membedakan ajaran islam yang ini berasal dari Arab dan yang itu original dari Allah? Ini bisa menjadi pertanyaan sulit, atau sangat mudah. Sulit jika dijawab dengan jujur, mudah jika dijawab menurut parameter orang-orang liberal. Mudah, karena acuannya adalah hawa nafsu. Shalat dengan bahasa Arab itu produk budaya, lokalnya shalat dengan bahasa Jawa. Cara baca Quran itu budaya Arab, langgam Jawa gaya lokalnya. Shalawat dengan nada Arab itu budaya, dangdut koplo itulah rasa lokalnya.
Tak pernah puas dan selalu berusaha mengusik ketenangan hati umat Islam. Mirip para artis yang selalu saja bikin sensasi. Tapi konon, memang itulah tugas yang harus diemban orang-orang liberal sebagai konsekuensi dari dana Amerika yang mereka terima. Mereka tidak akan berhenti sampai umat islam kehilangan Islamnya.
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya.” (At-Taubah: 32)
Kreatif?
Islam tidak melarang kreatifitas, bahkan menganjurkan. Rasulullah mengapresiasi tehnik perang kreasi Salman al Farisi yang terinspirasi dari gaya perang Persia berupa benteng bumi yang disebut Khandaq (parit). Benteng parit itu murah, mudah, efisien dan bisa ‘didaur ulang’ lagi setelah tidak terpakai. Tidak seperti benteng tembok. Beliau SAW juga merestui kreatifitas penduduk Madinah dalam tehnik pengawinan bunga kurma untuk meningkatkan kuantitas panen.
Namun, jika yang dimaksud kreatif adalah berbuat sesukanya dan melanggar semua batasan; agama dan etika, itu bukan kreatifitas tapi kegilaan. Dan tak hanya agama, manusia pun mengharamkan kegilaan, kecuali manusia gila. (abrazen)

Mulia Buah Dari Malu

Aisyah menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah sedang berbaring di rumah. Saat itu kaki beliau tersingkap. Tiba-tiba Abu Bakar datang meminta izin bertemu. Nabi mengizinkannya, lalu beliau berbincang-bincang tanpa merubah posisi duduknya. Selanjutnya Umar datang, dan beliau tetap dengan posisi seperti itu. Lalu ketika Utsman datang, tiba-tiba Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk dan merapikan pakaiannya.

Utsman masuk dan ikut berbincang-bincang dengan mereka. Setelah mereka keluar, Aisyah bertranya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ketika Abu Bakar masuk, Anda tidak merapikan posisi, begitupun ketika Umar masuk, Anda tidak merubah posisi. Tetapi kenapa ketika Utsman masuk, Anda duduk dan merapikan pakaian Anda?” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أَلاَ أَسْتَحِى مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِى مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ
“Tidakkah aku malu pada orang yang malaikat pun malu kepadanya?!” (HR. Muslim)
Allahu Akbar! Bahkan malaikatpun malu kepada Utsman.

Malu Berbuah Mulia

Riwayat di atas menunjukkan betapa bagusnya rasa malu Utsman radhiyallahu anhu, hingga dalam riwayat lain Nabi bersabda, “Umatku yang paling pengasih adalah Abu Bakar, yang paling tegas dalam kebenaran adalah Umar, dan yang paling bagus rasa malunya adalah Utsman.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan, “hasan shahih.”)
Ini menunjukkan bahwa sifat malu menjadi sifat unggulan dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang telah diberi kabar gembira sebagai ahlul jannah.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

الْحَيَاءُ مِنَ الْإِيمَانِ، وَالْإِيمَانُ فِي الْجَنَّةِ
Malu termasuk keimanan dan Iman tempatnya di jannah.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan “shahih.”)

Alangkah butuhnya generasi ini akan sifat malu. Zaman di mana banyak orang yang bangga mempertontonkan kebodohannya, membanggakan dosanya, mengobral aib dirinya dan memamerkan auratnya. Zaman di mana pemilik muka tebal dan telanjang dari rasa malu justru menjadi figur-figur publik yang diidolakan. Sifat malu dipojokkan dengan imej yang tidak mengenakan; kurang gaul, cemen, polos, lugu dan berbagai istilah yang bermaksud menjatuhkan orang yang masih menjaga sifat malu. Inilah zaman di mana rasa malu telah terkikis nyaris habis, seiring dengan makin tipisnya keimanan yang berhubungan erat dengan rasa malu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Rasa malu dan iman itu satu rangkaian yang berkelindan, jika salah satu hilang, maka lenyap pula yang lain.” (HR al-hakim, Thabrani, Shahih Jami’ ash-Shaghir)

Pada sisi lain, justru yang dilestarikan adalah rasa malu yang salah alamat atau salah pengertian. Malu mendatangi majlis ilmu, malu bergabung dengan para fuqara’ untuk shalat berjamaah di masjid, atau malu dalam mengikuti kebenaran. Inilah malu salah sasaran salah pengertian, dan lebih pas bila disebut dengan gengsi dan kesombongan.
Adapun sifat malu yang benar, akan berdampak pada kebaikan dan tercegahnya dari kemaksiatan. Hingga Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (HR Bukhari dan Muslim)

Lantas apa hakikat sifat malu yang membuahkan kebaikan dan kemuliaan bagi pemiliknya?
Ibnu Hibban rahimahullah dalam Raudhatul ‘Uqaala’ wa Nuzhatul Fudhala’ mengatakan bahwa malu atau al-haya’ adalah satu kata yang mencakup perbuatan menghindari segala apa yang dibenci.

Sedangkan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr.

Hidup dan matinya hati seseorang sangat memengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.”
Lebih jelas lagi, Al-Junaid rahimahullah berkata, “Rasa malu yakni ketika seseorang memperhatikan nikmat lalu membandingkan dengan keteledoran(yang diperbuat) sehingga menimbulkan suatu rasa, yang kemudian disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.”

Intinya, rasa malu adalah perangai yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.”
Inilah rasa malu yang benar, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan semata-mata yang berasal dari gharizah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri.”

Malu Kepada Siapa?

Sifat malu yang paling bermanfaat dan diperintahkan adalah malu kepada Allah. Yakni ketika seseorang merasa malu kepada Allah tatkala tidak mengerjakan perintah-Nya serta tidak menjauhi larangan-Nya. Sementara, nikmat Allah yang tercurah atasnya tak terhitung banyaknya dan tiap tetes nikmat itu menuntut dirinya untuk mensyukurinya.
Bersyukur dengan cara menggunakan semua nikmat sesuai kehendak Pemberi. Maka dia malu menggunakan nikmat untuk bermaksiat. Ini seperti yang diungkapkan oleh Hatim bin al-Asham sebagai salah satu prinsip hidupnya, “Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah terlepas dari pengawasan Allah di mana pun aku berada, karena itu aku malu kepada-Nya.” Begitu yang disebutkan dalam Shifah ash-Shafwah karya Ibnu al-Jauzi.
Buah dari rasa malu kepada Allah yang benar akan membuahkan sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى
“Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu. Barangsiapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan (pikiran) apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang masuk ke dalamnya.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)

Jenis yang kedua adalah malu kepada orang lain. Rasa malu ini sangat bermanfaat dan seseorang akan mendapat pahala karenanya ketika ia memiliki rasa malu kepada Allah.
Karena itulah, Imam Ibnu Hibban rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat bergaul dengan sesama manusia.

Ketika rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, dalm lemahlah potensi perilaku buruknya. Dan sebaliknya, ketika sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala.
Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”

Begitulah faedah malu kepada manusia. Bahkan bagi orang beriman, rasa malu bisa menjadi deteksi awal untuk mengendus status dosa, sebelum nantinya mengetahui kepastian dari dalil syar’i. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Dan dosa itu adalah apa saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka (malu) memperlihatkannya pada orang lain.” (HR. M
uslim)

Adapun rasa malu yang menghalangi seseorang untuk berbuat baik seperti menuntut ilmu, canggung untuk menampakkan syi’ar Islam, malu untuk amar ma’ruf nahi mungkar, maka itu bukanlah rasa malu yang benar. Dan sebenarnya itu bukan pengertian malu, tapi lebih pas disebut minder, pengecut atau penakut. Meskipun orang-orang menyebutnya dengan ‘malu’. Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)

(sumber : Ar-Risalah Edisi 169)